Selasa, 13 Maret 2012

SEBUAH GORESAN DI AWAL LEBARAN



ebaran? Seperti momok bagiku. Seperti tak  henti menghantui mimpi-mimpi malamku. Meski usiaku lebih seperempat abad, tapi lebaran memang selalu membuatku takut. Gemetar untuk sekedar  bangun dari tidur di akhir hari puasa, atau membayangkan ngilu dan nyeri berdesakan diantara tubuh-tubuh perkasa dalam ular besi yang seperti merayap di rel. Dan ketika pelan-pelan senja mulai hampIr malam di akhir bulan puasa, aku seperti hendak lari dari rumah kumuh ini. Rumah yang kutempati bersama kedua putriku yang masih belia.
Suamiku entah kemana sampai malam begini. Mungkin tak lagi terpikir olehnya tuk sekedar mendengar gema takbir yang mendayu-dayu merdu di masjid-masjid. Suara hati kami lebih mengerikan daripada mendengarkan alunan lagu-lagu pujian kepada Allah itu. Walau kami sama-sama tahu bahwa kami hanya mahluk. Meski tak seberuntung manusia-manusia yang melenggang sempurna di dalam mobil ataumotor di jalan atas rumah kardus kami. Pelan-pelan aku beringsut membetulkan selimut yang menempel hanya sebagian di tubuh kecil anak bungsuku. Dia demam sejak tadi pagi. Sementara kakaknya masih di luar sana mencari sisa-sisa makanan yang disebarkan manusia beruntung dan dermawan di luar sana. Ya.. kalau lebaran begini, lumayan. Minimal suamiku pulang membawa baju-baju bekas pakai dari tempat sampah rumah-rumah mewah di kompleks elite sana. Aku iba melihat anak bungsuku meringkuk karena dingin menusuk kulitnya. Pelan-pelan kubetulkan kompresan yang kutempelkan di jidatnya. Air kompresan itu tak lagi sehangat tadi, namun mungkin bisa menurunkan demam yang bersarang ditubuh mungilnya.
                Ku pandangi pintu reyot didepanku. Kain tipis bekas spanduk yang ku pasang disana bergerak-gerak terkena hembusan angin malam. Aku mulai gelisah. Bagaimana kalau anakku tak turun demamnya? Tadi sore sudah kuminumi obat demam anak yang ku beli di warung sebrang jembatan. Kadang dia mengigau sambil memegangi boneka lusuh yang dihadiahkan kakaknya beberapa hari lalu. Aku ingin berteriak, kenapa anak-anakku tidak lebih beruntung dariku? Boneka bekas yang sudah ku tambal sulam karena robek itu kadang membuatnya tersenyum dalam tidur. Yang lebh mengenaskan lagi, ia kadang-kadang memanggil kakaknya sambil tertawa-tawa sendiri. Aku jadi ingat, kakaknya sering mengajaknya bercanda seharian dan begitulah tawanya ketika bermain bersama kakanya. Kenapa Kinan anak sulungku belum tampak pulang. Sebenarnya aku tak tega melihat Kinan memulung barang bekas seperti itu. Tapi, beberapa hari ini adiknya tak mau ku tinggalkan. Terpaksa kinan yang berjalan menyusuri kompleks elite tempatku biasa mengumpulkan barang-barang bekas.
Makin malam, udara makin dingin. Ku lihat anakku yang demam bertambah menggigil.  Mungkin rasa dingin dan lapar membuatnya seperti itu. Aku beranjak menuju kaleng bekas biskuit tempatku menyimpan beras.  Aku menghela nafas panjang. Hanya tinggal setengah genggam. Yah… lumayanlah. Ku coba menyalakan kompor minyak di sudut ruangan. Untung masih ada sedikit minyak tanah bekas tadi pagi. Sambil mengaduk bubur beras itu, air mataku tak terasa mengalir pelan. Aku ingat ibu di kampung yang lama tak kutengok semenjak kelahiran anakku yang bungsu. Aku ingat ibu tak mau memandang wajahku ketika aku berpamitan pulang ke Jakarta di akhir kepulanganku ke kampungku lima tahun yang lalu. Aku tahu ibu bukannya membenciku, tapi ia tak tega mendengar semua keluh kesah hidupku di kota metropolitan ini. Dan pintanya untuk pulang tak ku hiraukan. Aku tahu kecewa dimata tuanya. Tapi mau bagaimana lagi? Di kampung pun kami tak punya apa- apa. Lalu bagaimana aku bertahan di sana? Sementara anak-anakku butuh makan setiap hari. Ah.. kususut air mata yang mulai deras mengalir dipipiku. Biarlah semuanya menjadi kenangan saja. Yang kupikirkan sekarang bagaimana anak-anakku tidak kekurangan makan dan minum. Itu saja. Angin malam semakin dingin menembus sela-sela kardus yang di jahit suamiku dengan benang kasur.
Bubur nasi yang masih panas itu, segera ku tuang ke mangkuk yang salah satu sisinya retak. Anakku langsung gembira menghirup aroma makanan itu. MAtanya pelan-pelan terbuka. Aku meniup bubur yang panas di sendok yang ku pegang. Ketika bubur itu mencapai bibir mungilnya, ia terburu-buru menyantapnya. Kemudian berlanjut dengan suapan-suapan selanjutnya, sampai tak terasa matanya terpejam sebelum bubur di mangkuk habis. Aku mengelus dada lega. Berarti dia memang lapar. Segera ku ganti air kompresan yang tadi supaya demamnya cepat turun.
Di luar angin makin surut berhembus. Tapi  kenapa cuaca makin panas dan membuat anak mungilku berkeringat. Mungkin tanda demamnya mulai surut juga. Tapi aku juga merasakan cuaca panas itu. Berarti memang malam ini berubah menjadi panas. Aku mengipas-ipas tubuh mungil anakku dengan kardus bekas air mineral dekat tumpukan baju kami. Dan udara makin panas, hingga titik-titik air tiba-tiba jatuh menitik pada atap seng di atas rumah reyot kami. Bunyinya yang senyap menambah was-was hatiku pada anak sulungku Kinan yang masih bergelimang dengan malam di luar sana. Kalau suamiku, aku masih tak begitu khawatir. Raga kokohnya yang menjadi gladiator nasib membuatnya lebih kuat daripada cuaca di luar sana.
“Kak, ayo main boneka…”
Anakku mengigau dalam tidurnya. Kupegang tubuhnya sudahmulai hangat. Aku mencoba mengusap-usap rambutnya supaya tidurnya lebih tenang.
                “Ibu.. aku pengen baju baru..”
Kata-kata it uterus terngiang di telingaku. Ya, kinan anakku sulung mengucapkannya ketika tak sengaja kami lewat pasar dekat rel kereta tak jauh dari tempat pengepul rongsokan sebrang sana. Pasar itu akhir-akhir ini memang dipenuhi pembeli khususnya ibu dan anak-anak yang mencari perlengkapan lebaran. Ya Allah… lebaran? Rasa nelangsa menghampiriku kembali. Aku ingat waktu seumur kinan dulu, aku juga berkata yang sama kepada orang tuaku. Dan dengan berbinar aku meneriman sebuah baju merah jambu yang berenda indah dari ibu setelah puasaku genap tiga minggu. Aku tahu ibu meminjam paman untuk membelikan baju itu. TApi tak pernah terpikirkan olehku darimana asal muasal baju itu, melainkan hanya rasa senang dan gembira tiada tara.
                Aku membayangkan jika aku bisa membelikan kedua anakku baju yang layak. Mungkin tidak baru, dari pasar loak misalnya. Tapi uang darimana? Sementara untuk makan saja kami masih sering kekurangan. Dan penjual baju itupun butuh makan sepertikami. Lalu aku harus bagaimana? Maafkan ibu nak. Ibu tak sempat memikirkan kebahagiaan lain selain melihat kalian tumbuh normal dengan makan layak. Karena tanpa itu, mereka tidak bisa hidup sehat. Sehat? Mungkin bukan sehat, tapi hidup saja sudah cukup.
                Tak terasa hujan terus menetes makin deras dan makin sunyi. Cuaca yang tadinya panas menjadi dingin bukan main. Lebih dingin dibanding tadi. Aku begidik sendiri menahan dingin. Ku serempangkan kain gendongan si kecil untuk mengusir dingin. Selimut si kecil ku tambah dengan beberapa kain bekas supaya badannya hangat. KAin kompres sudah ku lepas, karena demamnya sudah surut. Aku berdiri lalu menyibak kain penutup rumah. Ku tengok keluar. Hanya bunyi hujan yang terdengar menjatuhi barang-barang bekas sekitar rumah. Dan gambaran malam semakin terasa sunyi. Hanya bunyi klakson bersahutan di atas sana. Jalanan dan gema takbir yang bertalu-talu menambah jiwaku sunyi. Kinan kemana? Aku mencoba keluar rumah berkerudung baskom lebar. Ku tengok ke atas jembatan. Tapi nihil. Hanya mobil dan motor yang makin lama memenuhi jalanan.
                Aku memutuskan kembali ke rumah. Hingga tak terasa mataku sendiri terpejam tak sadar dekat si bungsu. Aku terbangun saat tangan dingin menyentuh tanganku. Aku membeliak. Kinan? Ah! Aku bernafas lega. Ia telah kembali. Tapi keherananku memuncak. Tubuhnya tak basah sedikitpun. Pakaiannya juga sudah bertukar bukan yang tadi siang ia pakai. Aku mengernyitkan dahi.
                “Bu, ini aku bawa kue. Aku juga bawa boneka Barbie yang cantik untuk adik.”
Aku menatapnya nanar. Bukan kebanggan yang menyelimuti jiwaku, tapi rasa marah dan emosi yang mulai memuncak. KU geret tangannya keluar rumah. Hujan memang tak lagi turun. Hanya titik air yang masih jatuh pelan-pelan.
                “Darimana kamu dapat barang-barang itu? Kapan ibu mengajarimu mencuri? Kapan ibu mengajarimu mencuri?!”
Teriakan ku sambil menampar pahanya. Kinan mun dur ketakutan. Mataku makin memerah. Kinan makin pucat. Ia coba membuka bibirnya. Tapi tangannya yang mencoba menggapaiku ku hardik.
                “Jawab Kinan. Darimana kau mencuri?”
Kinan menunduk lemah. Air matanya turun deras dan tangisannya mulai terdengar. Diantara tangis yang mengiba itu, ia mencoba bicara pelan.
                “Ibu.. aku tidak mencuri.”
Aku mencoba sedikit meredakan emosiku. Kurebut tas plastik di tangannya. Ia dengan pasrah menyerahkan tas plastik yang masih bau toko itu.
                Mataku membelalak melihat isi tas plastik itu. Roti bercap toko kue ternama dengan taburan keju berlimpah serta boneka Barbie yang sangat indah yang masih terbungkus rapi di kotaknya. Belum lagi baju-baju yang masih digantungi merk-merk baru. Aku melempar tas plastik itu. Kakiku nglilu sebelum akhirnya aku tersimpuh di tanah. Kenapa ia harus mencuri? Sebegitu banyak barang yang ia dapatkan hari ini, membuatku berpikir rumah dan barang-barang kami tak bisa untuk membelinya pabila nanti kami ketahuan mencuri.
                Kinan menatapku ketakutan. Tapi bibirnya seolah-olah ingin bergerak berkata-kata. Tapi amarahku semakin menjadi-jadi. Ia  ku tarik berdiri, lalu kuambil tas plastik yang tadi dibawanya. Aku menatapnya nanar.
                “Tunjukkan dimana kamu mencuri ! Ibu akan mengembalikannya kesana. Jawab Kinan!”
Aku makin nanar menatapnya. Kinan menggeleng-geleng dan tangisannya makin keras terisak-isak seolah kehabisan nafas. Aku melepaskan tangannya kasar. Telunjukku menunjuk wajahnya.
                “Kalau kamu tak menjawab pertanyaan ibu… sekarang pergilah! Ibu akan memaafkanmu setelah kau kembali dengan baju yang tadi. Tak usah bawa apa-apa. Kembalikan segera barang-barang itu!”
Perintahku sambil masih emosi dan aku masuk rumah. Masih sempat kudengar Kinan berkata;
                “Tapi Bu, aku tidak mencuri..”
Aku berbalik badan dan telunjukku menunjuk wajah Kinan penuh kemarahan.
                Kinan makin terisak. Aku tak peduli. Dengan cepat aku masuk rumah. Kudengar langkah kaki Kinan menjauh dari rumah. BUnyi seretan sendalnya mulai tak lagi terdengar. Dadaku mulai sesak. Kinan? Aku memang miskin, tapi aku tak mau munafik. Aku silau dengan barang-barang mewah seperti yang dibawa Kinan tadi. Tapi, rasa kecewaku pada anak sulungku itu lebih kuat. Aku tak mau ia tumbuh menjadi pecundang di tengah kehidupan miskin kami. Aku terisak. Kinan…andai aku bisa penuhi apa yang diinginkannya? Sebenarnya ia tidak minta apa-apa. Hanya sepotong baju yang layak di hari lebaran tahun ini. Ah! Aku menepis rasa iba itu. Aku tak mau anakku menjadi begitu kotor dengan kehidupan kami yang sudah kotor oleh lumpur-lumpur kemiskinan.
                Lama-lama hujan makin deras kembali. Dan udara yang tadinya normal kembali dingin. Dari jauh terdengar suara tapak kaki mendekati rumah. Aku menengok ke kain penutup depan rumah. Kain itu tersibak. Wajah suamiku terlihat.
                “Bu… gimana Hana? Apa ia masih demam?”
Aku tersenyum.
                “Sudah tidak. Tadi sudah minum obat dari warung.”
Hiburku. Tak ku lihat di tangan suamiku memegang bungkusan apapun. Rasa kecewa terselip di hatiku. Tapi aku mencoba tak bicara apapun.
                Suamiku merebahkan tubuhnya dekat anak bungsuku Hana. Aku mengambilkan air untuknya. Ia kemudian duduk meminum sedikit air sisa tadi siang itu.
                “Maaf, Pak. Berasnya tadi sudah aku bikin bubur. Hana sepertinya lapar.”
Suamiku tersenyum.
                “Biar saja. Yang penting dia tidak sakit.”
Tiba-tiba saja wajahnya kebingungan.
                “Kinan dimana?”
Aku mulai ikut kebingungan menjawab. Tapi aku tersenyum getir.
                “Apa ia belum pulang?”
Aku hanya diam tak menjawab.
                “Mungkin ia belum sampai. Tapi tadi…”
                “Aku masih menyuruhnya mengembalikan barang-barang curiannya.”
Suamiku menatapku bingung.
                “Barang curian? Kinan mencuri apa?”
Aku menghela nafas panjang. Kemudian aku bercerita tentang kejadian tadi. Suamiku menepuk jidatnya.
                “Aduh… kenapa kau suruh dia pergi?”
Mata suamiku memerah. Aku ditatapnya seperti hendak di telannya. Belum pernah selama kami menikah ia semarah itu. Bola api dimatanya belum surut saat ia menari tanganku keluar. Di luar rumah dengan rintik hujan yang masih terus menetes, ia menatap mataku penuh amarah.
                “Bu… kenapa kau suruh ia pergi?”
Aku mencoba bicara
                “Aku tak mau kita ketahuan mencuri. Aku tak mau kinan celaka. AKu tak bisa menerima barang-barang haram itu!”
Suamiku mengibaskan tanganku.
                “Ah!”
Gumamnya sambil mengngacak-acak rambut kumalnya.
                “Kau tak tahu! Kau tak tahu! Ia sudah menjelaskan padamu.Ah!”
                “Tapi aku tak percaya ia memulung barang-barang mewah itu!”
Ucapku membela diri.
                “Tapi dia…hanya aku suruh pulang mengantar barang-barang itu kemari. Sementara aku masih harus berurusan dengan Bang Jalil di pengepul rongsokan.”
                “Maksudmu?”
                “Ya… aku yang menyuruhnya pulang duluan, karena ia dari sore sudah menungguku di dekat Bang Jalil. Katanya hari ini ia hanya dapat beberapa makanan kecil yang dia makan sendiripun tak mengenyangkan.”
Aku makin tak mengerti.
                “Bapak sendiri… dapat makanan itu darimana?”
Tanyaku penuh selidik.
                “Aku tadi memang beruntung. Ketika aku memulung barang bekas di depan sebuah rumah mewah, orang yang punya rumah sedang membagikan barang kepada orang-orang. Nha aku dapat roti.”
Aku menegaskan
                “Di tas plastik yang Kinan bawa tak hanya ada roti, Pak. Ada baju baru yang bagus, ada boneka…”
                “Iya… selain roti, orang kaya itu membagikan uang. Mauku uang itu aku belikan kebutuhan kita. Tapi lagi-lagi aku memang beruntung. Ketika aku memulung tadi seorang anak di rumah sebelah rumah mewah yang aku pulung ternyata menatapku dari kejauhan.”
Suamiku berhenti bicara sejenak. Ia menghela nafas.
                “Anak kecil itu tahu aku tak jadi memungut boneka Barbie kecil yang sudah rusak di tempat sampah. Kemudian ia berlari menghampiriku yang berjalan hendak pergi dari situ. Ia memintaku sejenak menunggu. Lalu ia kembali dengan sebuah bungkusan. Sebelum ia menyerahkan bungkusan itu, ia bertanya padaku apakah aku punya anak kecil perempuan?”
Kembali suamiku berhenti bercerita. Matanya mulai berkaca-kaca.
                “Aku ingat Hana dan Kinan, Is. Lalu aku mengangguk. Hatiku teriris ingat anak-anak kita. Andai dia tumbuh seperti anak itu. Malaikat kecil itu kemudian menyerahkan bungkusan besar di tangannya padaku. Ia memintaku memberikannya pada anak kita. Aku mencium tangannya. Aku tak bisa berkata apa-apa. Kemudian, ia tersenyum dan meninggalkanku masuk pagar rumahnya. Ia melambaikan tangan padaku. Setelah sebelumnya ia mengatakan hidupnya tidak lama lagi. Ia sudah sakit sejak bayi. Ia tinggal menunggu waktu untuk meninggalkan dunia ini. Aku berjalan pulang, sebelum akhirnya aku bertemu Kinan dekat Bang Jalil. Ia memelukku erat saat tahu apa yang aku bawakan untuknya. Ingat Hana yang sakit, aku suruh Kinan pulang duluan. Aku menunggu uang hasil jual rongsokan.”
Aku tertunduk lemas menatap jalanan tempat Kinan tadi berjalan pergi.
                “Sekarang bagaimana? Aku harus cari Kinan dimana?”
Aku masih tertunduk lemas dengan air mata yang tak berhenti mengalir. Pantas, Kinan tak mau mengakui barang itu hasil curin. Dia sendiri tidak tahu asal muasal barang itu. Tapi kemana aku cari dia? Kinan…
                Malam semakin larut, ketika sehabis menjelaskan padaku tadi suamiku pergi lagi untuk mencari Kinan. Angin mulai berhembus dingin. Hana yang tadi terbangun sudah kuminumi susu sachet yang dibelikan suamiku tadi. Walau hanya segelas kecil, tapi sekarang tidurnya mulai tenang dan tersenyum penuh kedamaian. Aku tak lagi takut keadaannya. Tapi aku sangat cemas dengan suamiku. Aku hanya bisa menunggu sampai ia pulang dan doaku selalu ia akan pulang bersama Kinan.
                Sampai tak terasa aku terbangun dari tidur saat Hana tiba-tiba mengguncang-guncang tubuhku. Aku tergopoh-gopoh melihat cahaya matahari yang sudah mengintip dari sela-sela didnding kardus rumah kami. Aku buru-buru berdiri dan menggendong Hana. Ya Allah… dari semalam suamiku belum pulang.
                Sementara gema takbir  sudah tak lagi terdengar. Hanya lafadz sholad Ied yang terdengar mengalun di pagi yang mulai merayap menjadi siang. Sisa hujan semalam tak lagi basah, melainkan telah kering oleh sinar matahari pagi. Tiba-tiba saja perutku sakit bukan main. Aku menggendong Hana keluar rumah sambil menahan sakit di perut yang semakin menjadi. Di atas jembatan sana telah ramai suara mobil dan motor yang berlomba melewati jalanan untuk cepat sampai rumah dan berkumpul dengan keluarga merayakan hari raya pertama. Sakit di perutku tiba-tiba mereda, ketika aku ingat Kinan dan bapaknya yang belum juga pulang.
                Langkahku gontai menyusuri jalanan kota yang sedikit ramai, meski tak seperti biasanya. Aku menuju tempat pengepul barang rongsokan, tempat Pak jalil. Biasanya suamiku suka ada disana. Mungkin saja Kinan juga ada di sana.
                Dan hatiku kembali bergetar hebat saat kudapati rumah Pak Jalil sepi senyap. Bahkan rumah dari batako bekas itu tergembok pintunya. Aku terduduk lemas di dekat barang-barang rongsokan yang menggunung disana. Dimana suami dan anakku? Aku memutuskan mencari mereka dengan menyusuri jalanan yang setiap hari kami lewati untuk memulung barang-barang bekas. Ya.. jalan menuju perumahan elite ini memang jalur kehidupan kami. Sejak Kinan bayi bahkan sejak kami tinggal di rumah kardus, kami sudah menyusurinya. Langkahku terburu-buru sambil menengok kanan kiri siapa tahu ada mereka yang ku cari.
                Di gerbang perumahan elite itu tak seperti hari raya pada umumnya, sepertinya ada suasana berkabung. Ku dengar dari security yang berdiri di samping gerbang masuk tadi
                “ Anak kecil manis itu sudah tiada…”
Hatiku bertanya-tanya. Yang meninggal pasti orang kaya. Soalnya para pelayat memasuki kompleks perumahan elite itu rata-rata bermobil kinclong. Aku mengira pasti anak orang kaya.
                “Wah… tak ada lagi anak kecil yang dermawan di sini. Biasanya lebaran begini dia ke pos satpam ini memberikan kita sepak biscuit dan coklat untuk anak-anak kita.”
Aku terkejut mendengar pembicaraan security itu. Anak kecil dermawan? Apakah yang dibicarakan suamiku semalam? Anak yang seperti malaikat itu? Yang memberikan anakku senyum ketulusan dan baju-baju yang dalam mimpi pun tak pernah bisa kami miliki? Kakiku lemas. Air mataku menggenang dipelupuk mata. Kesedihan itu tiba-tiba merayap, bercampur dengan penyesalan yang tak henti mengingat aku telah salah mengartikan kepulangan Kinan. Hatiku bertambah ngilu menatap ja lanan kompleks elite yang mulai ramai orang melayat. Sepertinya, jenazah akan segera diberangkatkan.
                Langkah kakiku mulai berbalik arah. Makin kacau saja hatiku mengingat kedua orang yang kusayangi belum kembali. Mungkin aku harus menunggu mereka di rumah saja. Percuma aku mencari mereka, karena aku sendiri tak tahu kemana mereka pergi. Lagipula anak digendonganku sudah merengek sepertinya lapar mulai merayapinya. Aku takut ia demam lagi seperti kemarin. Aku menggendongnya kembali pulang.
                Dari kejauhan, rumahku sudah kelihatan. Aku hampir tak mengenali ada hal anaeh didepan rumahku. Sesosok manusia tergelepar didepan pintu. Ya Allah! Suamiku. Aku panic. Aku lari menghampiri sosok itu. Betapa terkejutnya, ketika ku pegang tangan suamiku dingin seperti es. Dan badannya tak lagi bergerak. Ku letakkan saja Hana di tanah dekat suamiku berbaring. Aku menangis terisak memegangi tubuh kaku suamiku. Kucoba pegang denyut nadinya. Nafasku hampir terhenti saat tak lagi merasakan detakan disana. Aku lemas. Hana anak bungsuku menangis seperti menambah rasa duka di hatiku. Air mataku tak lagi tertahan.
                “Bapak…!”
Aku memeluk tubuh yang sudah kaku itu. Ia sudah… dan Kinan? Entahlah… otakku sudah buntu. Suamiku kembali ke rumah  tanpa nyawa.. sedangkan anak sulungku? Dia belum kembali. Aku tak tahu apakah ia akan berani kembali pulang kesini. Aku cepat menggendong Hana dan berlari menghampiri seorang teman pemulung yang rumahnya tak jauh dari situ. Mereka tergopoh-gopoh mengikutiku. Aku sendiri tak tahu bagaimana aku punya uang untuk memakamkan suamiku? Disini tak ada tanah gratis seperti di kampung. Pinjam pak Jalil? Ya… tapi mendadak kakiku makin lemas. Pak Jalil bos pengepul rongsokan itu pergi ke Jawa bersama keluarganya. Ini hari raya. Aku berteriak tak kuasa menahan gejolak dalam batinku yang makin merajalela sakitnya.
                Wanita teman pemulung disebelahku berusaha menenangkan aku. Masih sempat kulihat tubuh suamiku digotong masuk rumah kardus kami yang mulai reyot terkena cuaca. Hana dipegang oleh temanku pemulung yang lain. Mataku berkunang-kunang
                “Ya Allah…..!
Teriakanku diiringi tangisanku yang pecah seketika. Sampai aku tak ingat apa-apa lagi.
****************************

Tidak ada komentar:

Posting Komentar