Kamis, 15 Maret 2012

TERSINGGUNGLAH! Plur/retknow’10

Rintik hujan sore ini seolah mewakili kata hatiku yang penuh rintik. Dari jendela bus, titik-titik air berubah menjadi kucuran hujan. Nampak kegetiran dan sepi merayapi suasana. Seluruh isi bus sepertinya diam menikmati irama hujan di luar sana. Aku di bangku bus ini juga ikut menikmati hujan di luar sana. Seirama dengan isi hatiku yang penuh rintik-rintik kekecewaan. Sore ini aku mau pulang ke rumah. Rasanya di kostan malah menambah kekecewaan makin menjadi. Sejak kejadian di kampus pagi tadi, aku begitu kecewa. Aku seperti kehilangan wibawa dihadapan teman-temanku sendiri. Masih ku ingat saat kemarin aku berusaha mencari ruangan kuliah kosong di juusan lain. Capek, lapar, haus tak pernah ku hiraukan. Setelah menemukan ruangan kosong di tepi sana, aku berdecak bahagia bersama Rega dan Heri. “Syukurlah.. minggu depan kita bisa tenang, Ndre.” Rega ikut tersenyum. “Iya, masa bisa sih kuliah diusir gara-gara bentrok jadwal.” Aku menggeleng tak mengerti. “Gue cuman leader offering. Kalau ada masalah begini sih sebenernya bukan salah kita. Nggak pa pa lah, yang penting dapat ruangan kosong ntar baru kita lapor jurusan.” “Secepatnya aja, Ndre. Ntar bentrok lagi.” Usul Heri berapi-api. “Ok. Lu ama Rega pergi ke TU jurusan, gue yang nembusin ke kajur.Gimana?” “Deal.” Sahut Rega. KAmi segera cabut untuk mengclearkan ruang kuliah itu. Siangnya, sebelum kuliah mulai kami sudah mengantongi izin jurusan. Rencananya, siang itu kami bakal laporan dosen sebelum kuliah mulai. “Buruan Bro, dosennya ntar keburu kabur.” Rega berjalan cepat mendahului kami ke ruang dosen. Belum sempat kami masuk, Pak Ilyas sudah keluar ruang dosen menenteng map kuliah. “Lho kok pada kesini. Tunggu saja di ruangan kuliah.” “RUangannya pindah, Pak.” Pak Ilyas tersenyum. “Saya sudah tahu.” Kami membeliak tak percaya. “Iya. Tadi barusan Neza memberitahu Bapak.” Aku segera menarik lengan Rega setelah minta diri dari Pak Ilyas. “Eh, tunggu, Ndre. KOk bisa ya si Neza tahu kalau kita sudah dapat ruangan?” “Tahu deh, Ga. Aku juga bingung. Dia denger dari siapa? Rega menggeleng geleng. “Nha gue inget, Ndre. Tadi dia nanya gue pas selesai ambil izin di TU. Wah gawat, keduluan kita.” Aku kecewa tapi hanya dalam hati. Aku hanya diam dan mencoba meyakinkan Rega yang ikut susah payah nyari ruangan tadi pagi, bahwa kita lebih diuntungkan karena Neza. Rega hanya diam. Kulihat ada rona kecewa di sana. Tidak hanya sampai disitu, ketika kami kuliah siang ini, aku belum selesai memilih kliping resensi yang akan ku kukumpulkan, tapi ternyata Pak Ilyas sudah mengumumkan bahwa aku harus maju ke depan menjelaskan resensi itu. Resensi yang mana? Bertambah bingung kuamati lembaran kliping yang disodorkan Pak Ilyas. Aku terbengong-bengong mengamati resensi yang semalam belum kubaca, bahkan aku belum memilihnya untuk kukumpulkan siang ini,. Ah! Dengan snagat bingung aku terpaksa membaca sekilas lalu menjelaskan ala kadarnya tentang resensi film tersebut. Tak ada aplaus, karena memang tidak menarik. Aku mendengus kesal, karena resensi yang kupelajari semalam malah masih teronggok rapi di mejaku.Ah! “Ga, lu tahu siapa yang ngumpulin resensiku tadi?” Rega tersenyum misterius. “Hanya satu orang yang ngumpulin, Ndre. Neza.” Aku membeliak. “Tapi, aku nggak merasa ngumpulin, Ga.” “Mungkin dia nyomot aja dari meja lu kali. “ Aku mengumpat marah. Rega merangkulku meninggalkan gedung untuk makan siang. “Ga, gue udah muak sama semua ini. Apa sih maksud Neza?” Rega tersenyum tipis. “Mungkin dia iri ama lu kali. Dia kan kandidat leader di offering kita.” Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. “Ah, masalah itu, lagi. Bukannya semuanya tahu, aku nggak ngajuin diri. Lu tahu kan gue terpilih tanpa dicalonkan. Bukan salah gue dong. Lagian Hendra yang juga kandidiat biasa aja ama gue.” Rega mengangkat bahunya. “Mungkin juga dia pengen jadi pahlawan kali.” “Iya. Pahlawan kesiangan.” Sahutku kesal. Entah berapa kali selama semester ini, aku dibuat kecewa oleh mahluk satu itu. Neza. Si rambut panjang yang tidak ada hentinya mendahuluiku mengambil keputusan. Mulai nandatanganin persetujuan beasitswa seoffering sampai hari ini. “Lu tahu siapa yang berani tanda tangan di list pendaftar beasiswa? “ Rega menggeleng. Dia terbengong bengong melihatku memegangi kepalaku dnegan tangan yang mengepal marah. “Cewek itu lagi? Neza?” “Lu emang cerdas. Tapi nggak penting kecerdasan lu, yang penting sekarang gue mau cari Neza. Sekarang.” Kataku setengah teriak. Rega hanya ikut saja ketika ku ajak menemui Neza di ruang kesayangannya, yaitu perpustakaan. Nggak salah lagi, Neza telah berdiri diantara rak-rak buku. Wajahnya yang santai benar-benar tak merasa bersalah sama sekali. “Za, gue mau bicara. Sekarang.” Ungkapku berapi-api. Neza menatapku heran, kemudian mengikutiku duduk di meja pembaca. Wajah santainya benar-benar makin membuatku muak. “Napa Ndre?” Aku melotot ke arahnya. Rega membisiki telingaku. “Ndre, lu harus sabar, ini cewek, Ndre.” “Ehm, lu tahu, kan beasiswa itu listnya hanya boleh ditandatangani oleh ketua offering. Dan lu tahu siapa yang berhak tanda tangan disana, Za? Gue.” Neza menatapku lalu mengangguk. “Bener emang. Tapi tadi pagi list itu diminta oleh orang BAAKPSI untuk cepat diajukan. Terpaksa gue tekel.” “Za, gue bukan haus dihormati, atau haus kekuasaan, gue cuman nyesel, napa lu nggak nanya gue dulu setidaknya hanya untuk memberitahu gue bahwa lu nandatangani list itu. Masalahnya…” “Masalahnya darurat, Ndre.” “Masalahnya 25 orang yang akan mendapat beasiswa itu tanggung jawab gue. Lu tahu sebesar apa tanggung jawab itu? 25 kali diri gue, karena itu anggota kelas kita. Kalau ada masalah, gue yang akan nanggung, Za. Lu belum pernah merasakannya. Ini masalah tanggung jawab. Bukan masalah gue nggak ngasih izin lu tanda tangan. Itu aja. Lu tahu kan maksud gue?” “Sory, tapi memang kondisinya darurat.” “Gue nggak mau nyalahin orang Za sebenernya. Gue Cuma mau lu kalau ada apa-apa beritahu gue itu aja. Makasih.” Ungkapku sambil berdiri lalu meninggalkan meja. Rega menepuk bahuku. “Sobat. Lu perlu refreshing sebentar deh kayaknya. Lu izin aja deh hari Jumat. Lu pulang kek. Lu kan sebulan nggak pulang. Nyokap lu pasti kangen deh.” “Please, Ga. Gue nggak mau pulang lagi. Gue nyaman disini. “ “Sory, Ndre. Gue tahu perasaan lu lagi kacau, tentang keluarga lu yang no coment, tapi lu harus pulang minimal menikmati suasana kamar pribadi lu atau menikmati hobimu bermusik di rumah Lu.” Aku menghela nafas panjang. Iya mungkin benar kata Rega bahwa aku butuh refreshing. Rumahku memang nggak jauh, hanya satu setengah jam dari kampus, tapi itulah, aku males pulang. Ketika melihat kostan sepi karena semua sibuk di kampus, tekad itu makin kuat. Aku pulang. Rintik itu mulai berhenti, ketika aku sampai di depan gerbang rumah. Ku dorong pagar rumah lalu aku masuk ke dalamnya. Pintu depan yang tak dikunci memudahkanku masuk. Di ruang tamu, sepi. Aku melenggang menuju kamarku. Terkejut ku mendapati kamarku berubah 100% seperti bajak laut. Yaaah! Aku melihat mahluk menyebalkan Bimo adikku tiduran di karpet dekat hometheater. “he bajak laut! Lu apain kamar gue?’ “Hoe! Wah si keren udah pulang. Ini kak, pinjem kamarnya. Aku bosen di kamarku sendiri. Suasananya nggak mendukung.” Aku menggeleng geleng. Bimo memang sedang kulaih di akademi kelautan. Tapi itulah Bimo. Dia cuek. Sama seperti Neza. Cuek. Kali kalo digabungkan mereka berdua klop. Tapi aku nggak merasa bete dengan Bimo, karena dia enak diajak sharing.Secuak-cueknya Bimo masih mau izin ma akau pake kamarku. Tidak seperti… ah! Sudahlah, aku pulang untuk melupakan masalah itu. Tiga hari di rumah memang sedikit membuang perasaan stressku di kampus. Tapi itulah, aku malah kepikiran terus, tentang anak-anak offering, tentang coffe gank ku, tentang tanggung jawabku di offering, walaupun Hendra sudah kupercaya sementara menggantikanku. Siang ini aku kembali ke kampus. Bimo yang mengantarku pakai motor balapnya. Di kampus yang panas itu, Rega menyambutku dengan senyum minim di bibirnya. “Napa lu, Ga nggak seneng ya gue balik?” “Ow, seneng banget gue Ndre. Masalahnya, ini ada tugas dari HMJ untuk mengirimkan duta offreing dalam festival teater sebagi bintang tamu aja sih, Ndre. Ofering lain sudah kirim, kita belum.” Aku mengangguk. Inilah yang kutakutkan. Aku menelpon Hendra. Katanya memamng sudah ada yang akan dikirim. Tapi nunggu rapat offering. Aku segera ambil keputusan untuk rapat offering. Siang yang terik ini, ditambah dengan dead line HMJ, aku dan anak-anak offering sepakat mengirim kelompoknya Bagus yang jadi duta offering festival teater, karena kami semua tahu kelompoknya Bagus kalau ngambil judul dan tema sesuai untuk anak remaja seusia SMU yang akan ikut festival. Ketika semua lancar, siang itu nggak terasa terik lagi. Mungkin tenggorokanku yang terik, karena lama nggak terguyur air. Siang setelah rapat, aku segera cabut menyusul the coffe gank yang asyik nongkrong di dekat jurusan Desain. Ngobrol-ngobrol sebentar sama anak-anak, aku dikejutkan oleh ketua HMJ Imron Komarudin yang datang bak manusia super rese. Bagaimana tidak, dia bilang duta teaterku salah alamat. Yang dicari grup teater yang agak nyastra bukan pop. Aku langsung telpon Hendra, tapi nihil Hendra bilang begitulah pengumuman HMJ, cuman nyuruh ngirim duta teater yang sesuai ma peserta festival. KU konfirm lagi dengan Imron, katanya pengumuman berubah tadi pagi,. Aku hampir memaki-maki Imron kalau saja Imron nggak bilang bahwa pengumuman udah dikonfirm ke Neza tadi pagi. Aku hampir meledakkan emosiku, tapi segera kutahan sekuat mungkin. Rapat yang clear, siang yang terik itu nggak berguna. Aku harus bilang apa sama kelompoknya Bagus yang sekarang lagi nyewa ruang drama untuk latihan? Apa kata anak-anak offering? Ah! “Im, lu mending ikut gue ke lab Drama jelasin ma Bagus the gank tentang pengumuman baru lu itu.” Imron yang hampir menolak itu tak bisa berkata apa-apa saat mataku melotot nggak berkedip. Rega menyusulku dengan muka bingung campur khawatir. Aku langsung minta Imron jelasin ke Bagus n the gank yang sedang latihan di lab drama tentang keputusan baru HMj itu. Aku tahu ada rona kecewa di wajah mereka. Tapi mereka menguatkan aku dengan berkata bahwa bukan salahku semuanya. Karena mereka yang termasuk pengurus offering aja nggak tahu. Nggak bisa ditolerir lagi, aku langsung ngumumin rapat pleno siang ini juga. Termasuk Neza yang akan kumintai pertanggungjawaban atas kelalaiannya memberitahukan pengumuman. “Sorry, Bro. Pengumuman dari HMJ beruvah. Kita salah lamat ngirim duta teater. Gue minta tolong lu semua sepakat milih kelompok teater yang nyastraan dikitlah. Gue punya usul sih kelompok Reza atau kelompok Hanif.” Anak-anak seoffering masih saling melobi kayak anggota dewan. Sementara itu mataku celingukan mencari sosok Neza yang menurutku suah keterlaluan. Kalau hanya perasaanku yang diabaikan nggak masalah seriuslah! Ini masalah anak seoffering. Ku temukan Neza duduk di bangku paling belakang pojok kiri dengan wajah yang masih sama. Super santai. Nggak ada perasaan nyesel. Aku agak emosi. Rega di sampingku menyikut tanganku. “Ndre… lu ngelamun aja, ya.anak-anak udah pada diem tuh. “ Aku terkejut. Iya… lobi-melobi udah selesai. Aku menatap anak-anak offering yang juga mulai menatapku dengan tatapan segera minta konfirmasi. Aku mulai membuka kembali sesi tanya jawab. “Rapat pleno yang terhormat. Silakan mengemukakan pendapat Anda tentang kelompok yang akan dipilih. “ Anak-anak offering mengacungkan tangannya. “Menurut gue, Ndre mendingan kelompok Reza aja yang maju. Usul Madris mantap. Yang lain membetulkan argument Madris. “Ok tenang dulu. Baiklah kalau memang itu yang disepakati. Kalau begitu, gimana Reza?” Reza dan kelompoknya mengacungkan jempol tangannya. Akhirnya, hasil kesepakatan memilih kelompok Reza yang nggak rumit banget-banget alirannya. Masih nggak abstrak temanya. Dan ketika aku hampir mengakhiri sesi kesepakatan itu, tak sengaja mataku menatap Neza yang tadi duduk di belakang sana. Dia asyik mengangkat hpnya sambil akan meninggalkan forum. Darahku makin mendidih. “Neza!” Teriakanku mengagetkan sosok yang kusebut namanya. Bahkan seisi forum melongo meatapku. Api itu menyala di mataku. Neza menurunkan hp ditangannya. Sementara aku menunjuknya garang. “Anda jangan meninggalkan pleno ini sebelum di tutup. Dimana sopan santun Anda sebagai pemilik offering?’ Anak-anak masih diam menatapku. Ada yang mukanya mulai ketakutan. Terutama yang cewek-cewek. “Ndre… lu jangan emosi dong. Biasa kacau. Ni masalah lu ama Neza. Aku melotot ke arah Rega. “Kata siapa ini masalahku sama Neza doank? Ini sudah melebar sampai ke offering. Tahu siapa yang dirugikan sekarang? “ Semua mata sekarang menatap Neza. Kata-kataku sengaja ku keraskan biar anak-anak offering tahu duduk permasalahannya. “Neza sudah mengecewakan banyak pihak.Seoffering.” Semua mata masih menatap aku dan Neza tak berkedip. Aku segera menguasai keadaan. Ku tenangkan forum dengan kata-kataku. Kuakhiri pleno itu meski dengan hati masih menyimpan dongkol pada Neza. Rega dan Bagus yang menemaniku membereskan meja rapat menepuk pundakku menenangkan. “Sabar, Ndre. Kita semua tahu kemarahan lu itu beralasan. Tapi lu harus jaga nama offering kita. Lu musti tahan emosi lu sesaat. Kalau nggak… gue takut anak offering lain malah tahu masalah ini.” Aku menggeleng pelan. Sabar? Kurang apa coba? Ah! Saat emosi seperti ini aku emang nggak kepengin ketemu mahluk itu. Mendingan ku tenangkan dulu pikiranku di café tungku untuk sekedar minum segelas kopi kental manis panas. Belum sempat aku mauk café, di pintu café kulihat mahluk menyebalkan Neza. Aku hampir balik kanan kalau dia tidak bilang “Ndre, aku mau confirm yang taadi.” Aku diam tak menyambut kalimat pintanya. Neza mencegahku yang hampir tak mempedulikannya meninggalkan café. “Ndre, gue mau ngomong. Penting.” Aku hanya menayambutnya dingin. Kalau tidak dilihat semua penghuni café, mungkin saja aku akan langsung meninggalkannya pergi dari situ. Kami bicara di dekat mading fakultas yang sepi. Neza menjelaskan apa yang membuatnya tadi harus menelpon saat pleno. Aku menunggunya menjelaskan kenapa ia tak menyampaikan kabar peralihan pengumuman HMJ tentang aliran drama yang harus dikirimkan untuk membuka festival teater sekolah. Aku menunggu kalimatnya menyatakan apa. Tapi yang keluar dari mulutnya hanya kata-kata pembelaan tentang ketidak konsentrasiannya di pleno tadi. Lama-lama aku jengkel juga. Ia tak bicara apapun tentang pengumuman yang tak ia sampaikan ke aku atau anak-anak offering. “Za, gue nunggu lu bicara tentang pengumuman HMJ yang berubah tadi pagi. Gue mau lu jelasin ke gue kenapa lu nggak nyampein ke anak-anak.” Neza sedikit kaget. Aku tersenyum sinis memandangnya yang mulai sedikit kebingungan menyampaikan pembelaannya yang menurutku lebih basi lagi. “Apa yang mau lu katakan?” Tanyaku mulai tinggi. Neza terdiam sesaat. “Aku lupa, Ndre.” Astaghfirullah! Apakah itu alasan? Anak kecil saja tahu itu alasan murahan yang paling aman. “Maksud lu? Lupa? Ini kepentingan siapa, Za? Lu tahu, anak-anak tadi siang sebelum pleno sudah rapat kecil membahas itu. Tanpa tahu perubahan pengumuman. Dan kamu seenaknya bilang… lupa?! Gimana gue nggak emosi?” Neza sedikit takut. Tapi tatapan matanya masih penuh pembelaan. “Lupa itu manusiawi, Ndre. Lagian tahu gue pelupa, ngapain Imron nitip pesen ke gue.” Aku mengumpat dalam hati. “Andai Imron ketemu Rega atau Bagas, mungkin bukan kamu kali Za yang dititipin. Dan itupun kalau Imron tahu kamu nggak bertanggungjawab, nggak bakalan juga kasusnya begini.” Kataku melotot sambil meninggalkan Neza yang masih diam di tempatnya. Gontai langkahku menyusuri kampus yang mulai redup karena sudah sore. Rega yang berlari-lari ke arahku membuatku berhenti melangkah untuk menunggunya bersama-sama pulang. “Lu apain lagi, Ndre si Neza.” Aku tersenyum getir. “Biasalah ngadepin orang sakit emang musti sabar.” Gayaku sok bijaksana. Rega menggeleng-geleng pelan. “Lu bilang Neza sakit?” “Sakit jiwa.” Jawabku. Rega terbahak. Hari terus merayap tanpa kompromi, ketika semesterpun mulai merangkak naik bilangannya. Demikian juga offering yang sedikit demi sedikit meraih prestasi. Meski keringat dan air mata jiwa juga turut mengiringi perjuanganku memimpin offering. Meski Neza tetap menjadi Neza yang masih tak bergeming menjadi lebih baik pemikirannya. “Ndre, lu jadi kan ngajuin pendaftaran PPL semester ini?” Tanya anak-anak offering sore ini. “Pastilah. Besuk pagi langsung gue ajuin ke kantor PPL.” Anak-anak bergumam lega mendengar penjelasanku. Paginya dibantu Rega dan Bagas, aku ke kantor UPT PPL ngajuin pendaftaran PPL anak-anak semester ini. Kantor UPT PPL masih lengang. Kami bertiga bernafas lega, karena birokrasi tidak terlalu sulit. Belum ada satu jam menunggu, kami telah mengantongi izin PPL semester ini. Semua lancar. KAmi bertiga menghela nafas lega. Demikian ketika kami umumkan ke anak-anak offering. Mereka menyambut dengan gembira. Aku melangkah lega di koridor kampus yang mulai ramai anak-anak masuk kuliah pagi. “Ndre… ngopi, yuk.” Ajak anak-anak desain grafis teman-temanku di BEM. Aku mengikuti mereka. Meskipun Cuma nongkrong, kami kadang sharing membahas masalah offering, kuliah, jurusan, dan apapun peristiwa di kampus yang bisa jadi bahan obrolan dan sharing. Kalau Mahrus nggak membahas Neza, mungkin aku malas bicara tentang mahluk menyebalkan dan menjengkelkan itu. “Neza kena kasus lagi, Bro. Kemarin gue lihat dia di damprat dosen pendidikan. Gue aja ampe gemeter dengernya. Kebetulan gue lagi konsultasi tugas ke dosen gue yang ruangannya bersebelahan ama dosen pendidikan.” Aku menatap Mahrus tak percaya. “Neza?” Mahrus mengangguk. Aku langsung mengambil kesimpulan. Neza kuliah kemarin memang banyak alpanya, banyak telatnya, dan banyak kerjaannya yang nggak beres. Dalam hati aku kasihan juga. Tapi, aku hanya bisa bersyukur karena teguran keras dosen mungkin akan sedikit mengubah perilakunya. Neza… cewek yang aneh. Hhh.. Seminggu kemudian, anak-anak offering menerima kepastian tanggal dan tempat PPL. Praktik Pengalaman Lapangan yang menjadi kuliah praktik kami sesungguhnya. Inilah saat yang kami tunggu, karena PPL akan banyak membuat kami berpengalaman terutama mengajar dan menyusun perangkat pembelajaran. Papan pengumuman yang ramai anak-anak offeringku dan beberapa offering lain membuatku rela menunggu mereka. Aku harus sabar. Katanya, pemimpin harus mendahulukan yang dipimpin. Betapa keringatku mulai deras mengalir siang terik itu menanti pengumuman lanjutan dari UPT PPL yang masih ada selembar lagi belum di tempel. Namaku belum muncul di pengumuman yang ditempel tadi. Nyaliku langsung ciut, bagitu aku tak menemukan namaku di lembar terakhir pengumuman UPT PPL. Aku langsung meluncur ke dalam ruangan administrasi yang kudatangi seminggu yang lalu. Petugas disana mengecek lagi nama-nama pendaftar dari offeringku. “Saya udah daftar bareng anak-anak se offering, Bu. Devandra Andrean Putra.” Jelasku sambil berharap namaku lupa dicantumkan. “Maaf nama anda memang ada di formulir pendaftaran. Tapi satu yang kurang kemarin. Surat pernyataan orang tua belum disertakan.” Aku tersenyum getir. “Saya sudah bilang ke ibu yang menerima formulir. Orang tua saya belum bisa tanda tangan. Di fax kesini secepatnya. Semua di luar kota tugas dinas. Katanya nggak ada masalah kemarin.” Petugas itu menelpon sebentar ke pesawat lain. Aku menunggunya dengan harap-harap cemas. “Anda sudah kami beritahu. Fax yang masuk sudah ada. Tinggal paraf anda saja tiga hari yang lalu. Kami tunggu Anda tak kesini. Kami belum Acc kan ke kepala UPT PPL. Beliau ke luar kota selama tiga hari.” Aku masih berharap dalam tiga hari ke depan. “Bu, saya masih bisa kan PPL semester ini? Saya sudah memenuhi persyaratannya, kan?” “Maaf, Anda terlambat. Kalau tiga hari yang lalu Anda datang kami akan usahakan ke sekolah yang menjadi link kita. Kalau tiga hari lagi izin lebih sulit. Kami mohon anda mengerti dan ikut PPL semester pendek saja.” Lemaslah seluruh sendi-sendiku. Kenapa harus aku? Aku masih penasaran. “Tapi saya nggak merasa dihubungi, Bu.” Petugas itu menunjukkan copyan memo yang dikirimkan padaku. “Kami menitipkannya pada rekan Anda seoffering.” Aku masih penasaran. Se offering? Siapa? Kalau ada kabar, anak-anak biasanya langsung menghubungiku secepat kilat. Aku melangkah gontai. Kuurus hari ini pun nggak bakalan kelar. Kepala UPT PPL sedang dinas luar sampai lusa. Aku menelpon Rega dan Bagas. Mereka masih ada di ruang kuliah pagi tadi bersama anak-anak yang juga lagi ngerjain tugas bareng-bareng. Aku meluncur ke kelas tempat anak-anak masih berkumpul. Berharap mereka ada yang tahu tentang memo untukku dari UPT PPL. Sampai di kelas yang ramai itu, aku langsung tanya dari depan kelas. Mereka menggeleng kuat tak mengerti. Ada satu yang nggak ada di kelas. Hanya Neza. Aku sebenarnya nggak akan berburuk sangka pada Neza, kalau Irma tidak bilang bahwa dia melihat Neza tiga hari yang lalu masuk ruang UPT PPL karena menemui dosen. Aku langsung calling Neza. Kemarahanku menjadi-jadi. Rega dan Bagas yang biasanya ngademin hati, tak bisa lagi menghiburku. Ini hidup matiku di kampus. Apa jadinya kalau aku nggak PPL semester ini? Lulusku pasti akan lebih lama. Neza yang kuhubungi tak mengangkat telponnya. Aku makin naik darah. Dengan masih emosi, aku meluncur ke kostan Neza. Apa yang kudapati? Kostan Neza ternyata ramai sekali. Salah satu penghuni kost kutanyai mengenai Neza. Dia tak menjawab, malah air matanya turun deras tak tertahan. Aku makin penasaran. Seorang penghuni kost yang agaknya lebih tegar menjelaskan “Neza… dia sudah…tiada barusan. Kami baru dapat kabar dari rumah sakit.” What? Neza? Tiada? Aku masih mematung di tempatku tak bergeming. Neza kenapa? Sampai seseorang memberitahuku bahwa sejam lalu Neza kecelakaan pas akan berangkat ke kampus. Temannya membawanya ke rumah sakit. Motornya rusak parah tertabrak mobil. Neza yang terburu-buru karena takut telat kuliah itu tak bisa kendalikan laju motornya. Aku lemas ditempatku. Bahkan sampai Neza tiada, dia menyisakan kesulitan untukku. Bagaimana nasibku PPL? BAgaimana? Aku hanya diam masih tak percaya. Entah berduka atau emosikah aku? Neza… !************** Tersinggunglah Bro! Cerpen yang ini memang menjengkelkan! Tx to : - My classmates (Faculty of Art offering A UM PBSI 2002) Jangan sampai Anda mengalaminya. Menyakitkan sekali. Maka, tersinggunglah saja cukup!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar